Warisan Budaya

  • Dibaca: 10505 Pengunjung

Desa Trunyan
Desa Terunyan, yang terpencil di pesisir timur dan biasanya dijangkau dengan perahu. Desa Trunyan terletak kurang lebih 5 kilometer dari Desa Kedisan atau kurang lebih 32 kilometer dari kota Bangli atau 70 kilometer dari Denpasar. Desa Trunyan merupakan salah satu Desa Bali Asli (Bali Aga). Disebut demikian karena penduduk di sana merupakan penduduk asli yang beragama Hindu, sedangkan lingkungannya merupakan lingkungan alam pegunungan karena terletak di lereng Gunung Batur yaitu di tepi sebelah Timur Danau Batur. Untuk mencapai desa tersebut dapat ditempuh dengan jalan kaki, atau menyeberang melalui Danau Batur dari Desa Kedisan dengan mempergunakan perahu motor/boat dengan lama perjalanan kurang lebih 30 menit. Nama Trunyan berasal dari kata “Taru” dan “Menyan”, pohon yang tumbuh di desa tersebut. Penduduk Trunyan menganggap pohon sangat penting.
 
Desa Trunyan mempunyai suatu tradisi unik, berbeda dengan masyarakat Bali umumnya yang membakar mayat (kremasi) dalam upacara ngaben, masyarakat Trunyan meletakkan mayat di atas tanah, sistem penguburan jenazah yang jauh berbeda dengan desa-desa lainnya di Bali. Mayat warga yang meninggal hanya ditutup dengan kain putih dan tutup bamboo yang disebut “Ancak Saji”, namun wajahnya dibiarkan terbuka, kemudian ditaruh di kuburan tanpa dikubur. Tradisi dari upacara ini disebut “mapasah”, yang tengkorak dan kerangkanya masih banyak yang utuh sampai sekarang.
 
Di desa ini terdapat pohon terunyan yang konon pohon ini hanya terdapat di desa Terunyan . Kata Terunyan sendiri berasal dari kata taru menyan atau pohon wangi yang dipercaya menjadi kunci mengapa jenazah tidak beraroma busuk meski hanya diletakkan di atas tanah.
 
Sistem tersebut didasarkan atas mitologi, bahwa di sana pada jaman dahulu khawatir akan bau harum dari sebuah pohon tercium sampai ke sorga, maka beliau memerintahkan rakyat agar tidak mengubur mayat-mayat warga yang meninggal sehingga akan terciumlah bau busuk, namun akibat bau harum tersebut bau busuk dari mayat-mayat warga tak tercium lagi. Telaahan hasil pengamatan di lapangan adalah sbb.: Dengan tetap menghormati dan melestarikan tradisi yang sudah ada, dapatkah diberlakukan “pembuangan” mayat lama, jika ada mayat baru, dengan lebih rapi dan bersih, serta dibudayakan estetikanya. Topografi pinggir danau yang umumnya merupakan tebing curam tampak rawan longsor, dan perlu perhatian yang berwenang. ( Sumber : Gambar : Kompas.com – Benny Dwi K 23 Agustus 2012, artikel : Kompas.com 23 agustus 2012 )
 
Tarian Khas Kabupaten Bangli (Tari Kreasi Kang Ching-Wie)
 
Tari Kreasi Kang Ching-Wie yang mengisahkan mendaratnya Kapal saudagar Cina diperairan Balingkang beserta putrinya yang bernama Kang Ching Wie. Dalam perdagangannya di wilayah Kerajaan Balingkang bertemulah Kang Ching Wei dengan rajanya yang bergelar Sri Jaya Pangus. Dari pertemuan itu timbul rasa ketertarikan sampai akhirnya mereka menjalin hubungan cinta kasih. Akan tetapi cinta terlarang itu kemudian diketahui oleh permaisuri dan dikutuklah kedua pasangan tersebut sehingga menjadi Barong Landung yang kita warisi sampai sekarang.
 
Tarian ini terinspirasi dari kisah nyata dari kerajaan Balingkang yang merupakan kerajaan pertama di Bali. Akulturasi budaya Bali kuno dengan Cina tampak pada garapan seni ini. Tari kreasi ini diiringi oleh seperangkat Gambelan Baleganjur. Dan kehidupan sosial masyarakat di sekitar Kaldera Gunung Batur juga masih terpengaruh oleh kisah Raja Jayapangus dengan Putri Kang Ching Wie.
 
Karya seni ini ditampilkan saat Pawai Pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-36 pada tanggal 13 Juni 2014. Fragmentari yang cukup monumental ini dipentaskan didepan podium kehormatan yang disaksikan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tarian khas Kabupaten Bangli berupa tari kreasi akan dijadikan tari maskot atau ciri khas Geopark Kaldera Batur.
  • Dibaca: 10505 Pengunjung